Oleh : Heris Sandra
Media atau bentuk jamak dari kata Medium adalah 'perantara' atau dalam komunikasi berasal dari kata 'mediasi' karena mereka hadir di antara pemirsa dan lingkungan. Istilah ini sering digunakan untuk menyebutkan media massa.
Pada awal berkembang nya, media sudah aktif dijadikan alat komunikasi. Awal kemunculan media pada masa itu masih berupa ukiran di bebatuan sejak sebelum Masehi, hingga mulai berkembang menjadi surat menyurat. Dalam surat menyurat ini lah banyak tokoh-tokoh yang bermunculan.
Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah / Hamka
Beliau adalah orang yang benar-benar memanfaatkan media massa dengan bijak, karena pada zaman itu, para remaja nya jauh dari islam. Dalam sebuah bukunya, Taufiq Ismail (2011) menuliskan fakta unik tentang hubungan ayah-anak tersebut. Khususnya, soal pengakuan dunia internasional akan taraf keilmuan mereka.
“(Ayahanda Buya Hamka) dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Al-Azhar, Kairo, pada tahun 1926. Beliau lebih dikenal dengan julukan Haji Rasul, Inyik Doktor atau Inyik DR. Buya Hamka mendapat penghargaan yang serupa 35 tahun kemudian, pada tahun 1961, orang ketiga dari Indonesia. Sebagai ayah dan anak, mereka (Buya Hamka dan ayahnya) pasangan pertama yang mendapat kehormatan tinggi tersebut,”
Buya Hamka di gelari guru besar oleh Universiti Kebangsaan Malaysia. Gelar itu diberikan langsung oleh Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia dan Ustadziyah Fakhriyah” (Doktor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar, Mesir. Seiringan dengan itu, berkembang juga alat pemancar suara yang di kenal sebagai radio. Dari radio lah kita bisa mendengarkan suara semangat berapi api dari Bung Tomo yang menyerukan Jihad Fisabillah kepada kaum Muslimin Nusantara.
Pada 1960-an televisi berwarna bermunculan dan menyebar, lalu berkembang pesat dengan berbagai macam inovasi yang hingga saat ini masih digunakan. Kemudian pada tahun 1970-an, ada telepon seluler atau yang kita kenal sebagi telepon genggam atau Hp (Handphone). Lalu di tahun 1980-an, ada Komputer yang terus dikembangkan hingga sekarang. Nah, inilah yang menjadi cikal bakal ada nya Media Sosial di ponsel temen temen semua.
Jika kita bicara tentang media informasi yang di dalam nya ada Facebook, Instagram, Youtube, Tik Tok dan sebagainya. Media Sosial sekarang telah menjadi sumber informasi dan perilaku seseorang. Karena apa yang kita dengar dan kita tonton akan berdampak secara tidak langsung terhadap tubuh kita.
Pada 24 Juni 2021 SkinnyIndonesian24 merilis video tentang bagaimana cara algoritma Media sosial bekerja. Saya akan coba paparkan secara singkat dan mudah di mengerti.
Polarisasi
Semakin sering kita menonton, melihat dan menyaksikan Media Sosial atau lazimnya disebut sosmed, semakin mengalir lancar cuan mereka. Metode mereka untuk mendapatkan atensi kita inilah yang berbahaya. Mereka mengkotak-kotakkan kita dengan konten konten yang disukai dan yang diminati berdasarkan AI (artificial intelligent) atau kecerdasan buatan melalui data dan analitik yang di dapatkan dari atensi kita di sosmed.
Ketika penonton Media Massa saat ini tetelah terpolarisasi dengn apa yang mereka sukai bukan dengan apa yang mereka butuhkan, maka hal itu menjadi sesuatu yang berbahaya. Kita ambil contoh orang yang suka dengan konspirasi, maka berandanya akan terus menerus dimunculkan video atau yang lainnya seputar konspirasi. Berbeda dengan orang yang suka dengan ilmiah, akan terus menerus ditawarkan video atau hal-hal yang mengedukasi.
Ini bukan masalah kita tapi ini adalah sebuah akar yang akan merembet menciptakan berbagai macam masalah nantinya. Jadi Media Sosial memberikan kita segala hal yang kita sukai agar atensi kita terus mengarah pada kanal-kanal atau akun pada media mereka. Mereka ingin kita terus nonton selama mungkin.
Pertanyaannya, memangnya kenapa kalau kita terus-terusan menonton hal-hal yang kita sukai? toh kita tidak perlu membayarnya. Memang benar semuanya gratis, karena semakin lama kita nonton semakin besar pendapatan yang mereka hasilkan. Media Sosial mendapatkan uang dari periklanan, yang berarti iklan adalah pelanggannya dalam artian iklan yang membayar Media Sosial. Jadi customer Media Sosial adalah iklan. Kalau iklan adalah pelanggan, maka Media Sosial adalah tokonya, yang berarti kita adalah produknya. Selama kita tidak membayar, maka kita lah produknya. Kalau kamu tidak membayar produknya, berarti kamulah produknya.
Jadi Perubahan perlahan, kecil, dan tidak terlihat dalam membentuk perilaku dan persepsi kita, itulah produknya. (Jaron Lanier).
Penting untuk diketahui, apapun yang kita klik setiap kali menonton atau membuka tautan, akan terekam dalam jejak digital. Digitalisasi akan merekam jejak kita dengan basis machine learning tanpa kita sadari, aktivitas kita adalah data bagi mereka dan menjadi perilaku. Itulah yang diperjual belikan. Data tadi kemudian dijadikan pengiklan untuk konsentrasi iklan-iklan mereka. Kita ambil contoh, ada dua berita tentang kasus KDRT Artis dan tentang edukasi masyarakat, mana kira-kira yang lebih banyak penontonnya?
Kalau ada yang lebih banyak, kenapa harus lebih bagus? Nah data ini baru pada pengiklan, belum merambah ke aspek yang lainnya. Dari sinilah muncul para kreator yang out of the box dengan segala macam konten yang nyeleneh, sehingga banyak yang suka dan kemudian menjadi viral. Resep inilah yang kemudian berulang. Mereka pahami algoritma nya, bikin video nyeleneh lainnya dan kemudian viral. Penonton yang termakan konten, kreator yang terpengaruh algoritma, serta brand yang mementingkan profit dan sosmed yang memfasilitasi serta membiarkan ini terjadi.
Kita semua adalah pelaku sekaligus korban, dan Owner nya tidak punya kontrol untuk ini karna AI yang mengambil perannya sendiri. Satu satu cara untuk mengatasinya adalah mengganti sistem. Ini semua bisnis, bahkan para Owner tidak bisa menyelesaikan permasalahan sistem karna ini bekerja menggunakan model machine learning. Tapi kembali lagi, adakah orang yang mau menggantikan sistem yang telah memberikan mereka keuntungan beratus ratus kali lipat? Ya, faktanya ini semua masih terus berjalan.
Sumber :
Posting Komentar